Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2014

Natalan si Rizki Cilik

Gambar
Hari ini Rizki, teman cilikku, ke gereja lagi merayakan Natal Sekolah Minggu. Rizki masuk ke ruang Kapel Hosana (kelas kecil) karena umurnya masih 4 tahun.   Aku mengenal Rizki di depan sekolah saat ia ikut ayahnya berjualan bakmi.  Lambat laun kami semakin sering bertemu dan menjalin pertemanan. Aku bingung setiap kali berada di gedung yang besar dan dingin ini, ia seperti bukan dirinya. Ia menjadi sangat pendiam. Keceriaannya seperti dikurung oleh suara dan lagu Sekolah Minggu yang terpantul dipilar-pilar penyangga dan kaca ruang ini.  Mungkin ia belum terbiasa. Apalagi waktu pertamakali sekolah minggu. Rizki yang biasanya ceria, lari sana lari sini menjadi tak berkutik sepeti batu. Saat dipanggil berdiri, dia tidak berdiri. Saat diajak menyanyi, mulutnya bagai diplester lem tikus. Ingin  sekali rasanya melihat dia menikmati Tuhan lewat puji-pujian, tarian, firman Tuhan bersama teman-temannya, tapi dia sepertinya takut dengan suasana yang berbeda dari biasanya.

Teman Kupu-kupu

Gambar
Kupu-kupu itu indah. Ia memiliki sayap yang menawan. Setiap kali ia terbang, bola mata kita pun mengikutinya. Warna-warna yang memesona, gerak-geriknya membuat kita tersenyum senang. Aku memiliki seorang teman yang seperti kupu-kupu. Ya, ia indah, ia menawan, ia seperti bintang yang bercahaya ketika ia bernyanyi, berkata-kata. Akan tetapi, sayang ketika aku dan dia menjalin pertemanan, ia sering hanya datang dan pergi seperti kupu-kupu.  Ibarat aku adalah sebuah tanaman. Ketika aku sedang berbunga, maka ia dekati aku. Akan tetapi, ketika aku sedang tidak berbunga dan orang lainlah yang berbunga, maka ia pergi dari aku dan hinggap ke bunga yang lain itu. Itukah teman? Ya, kusebut ia teman kupu-kupu. 

Kobaran Api Sang Negrito

Nabire.. Sebuah lahan dipelosok Indonesia yang terletak di batang leher si Pulau Burung. Di sinilah tinggal seorang pendeta bernama Musa Imbri. Hari-harinya ia habiskan untuk melayani jemaat di daerahnya dan sekitarnya. Daerah lain yang harus ia layani berjarak berpuluh-puluh kilometer. Bisa 30 kilometer, 40 kilometer, bahkan 60-an kilometer. Pendeta Musa Imbiri harus naik-turun gunung untuk sampai ditujuan. Terkadang, ia bisa berjalan kaki hingga tiga hari. Seringkali, bahkan hampir setiap hari, ia menggunakan sepeda motor pinjaman yang ia biayai sendiri. Biaya tersebut mencapai Rp1.000.000 per minggu. Cintanya pada Tuhan adalaha alasan Pendeta Musa Imbiri untuk tetap semangat dan berani. Ia sering pergi kesuku-suku yang belum tersentuh oleh firman Tuhan. “Di sana suku A jika melihat suku B sangat waspada dan dianggap sangat berbeda. Saya pun dianggap sebagai orang asing karena sukunya berbeda,” begitu kata Pendeta Musa Imbiri. Akan tetapi, ia tak kehabisan akal. Ia mendekati kepal

Kesempatan

Gambar
refleksi dari sebuah wawancara Cinta adalah penggerak manusia. Hal ini terbukti dari cinta Pak Edy pada anaknya. Oleh karena cinta itu, Pak Edy rela mem banting tulang t iap hari bekerja menarik bajaj. Kadang, ia hanya mendapat 50.000-100.000 per hari, bahkan pernah tidak mendapat serupiah pun. Hidupnya serba tak pasti. Akan tetapi, semangatnya tak patah. Ia terus berjuang. Ia ingin menjadi ayah yang baik bagi Agung, anaknya di Cirebon. Pak Edy menghadapi banyak pesaing sebagai pen arik bajaj di ibukota. Sesekali ia juga terjatuh sakit karena memang usianya yang tidak muda lagi. Akan tetapi, Ia terus berjuang di tengah ketidakpastian hidupnya agar Agung bisa sekolah dan mendapatkan pendidikan yang baik di Cirebon. Ternyata, di sekolah, Agung adalah anak yang gemilang. Guru Agung sering meminta ayahnya agar Agung di sekolahkan di Jakarta. Agung juga ingin sekali bersama ayahnya tinggal dan belajar di Ibu Kota. Akan tetapi, karena keterbatasan biaya, Agung pun tetap